Isu
suap yang menuduh Ust Lthfi Hasan Ishaq (LHI) dalam kasus inpor daging
sapi seolah menggelinding ke muara opini publik tanpa terkendali.
Gempita isu suap yang dituduhkan kepada PKS itu sepernya telah menutupi
banyaknya borok dalam persoalan bangsa yang tidak jelas juntrung
solusinya. Bahkan, bau amis perebutan kursi kekuasaan di tahun politik
2014 mendatang semakin menggenderang ditengah pekikan tangis dan derita
anak bangsa yang entah kapan akan berujung.
Namun,
logika kekuasaan yang dipakai petinggi negara tetap selalu unggul
mengalahi teriak, gundah dan kesebalan rakyat, bahkan semua kekagalauan
rakyat tersebut cenderung dimanfaatkan sebagai penghias dan gincu yang
bersembunyi dibalik topeng “perjuangan atas nama rakyat”. Sehingga,
rincian persoalan bangsa menjadi amburadul, acak-acakan yang sangat
sulit diurai secara sistemis dan prioritas untuk diselesaikan.
Hal
ini bisa terlihat dari permainan isu kudeta yang dihembuskan SBY,
ancaman terorisme pembunuhan kepada presiden yang sangat terkesan
mencari simpati publik. Walau tidak jelas substansi kudeta dan
pembunuhan yang dipublikasikan, politik mencari simpati SBY sepertinya
terus bermain di ruang penderitaan rakyat yang tak berkesudahan.
Alih-alih membenahi dan menginsyafi kelakuan rumah politiknya (Demokrat)
yang sedang sekarat dalam opini masyarakat, justru para penggawanya
menginginkan SBY menjadi Ketua Umum dari mesin politik yang didirikannya
itu.
Politik
pencitraan yang sedang belangsung sampai hari ini, seolah
mengindikasikan bahwa SBY memang sedang dalam pusaran terzalimi, pada
sisi yang berbeda, lokomotif politik SBY (Demokrat) seakan mengangkat
jarimya, bahwa persoalan korupsi bukan hanya menjangkiti partainya saja,
namun hampir semua Parpol berkelakuan yang sama, termasuk PKS. Hal
terbukti dengan tertangkapnya Presiden PKS dan dijadikan tersangka oleh
KPK. Lantas, apa pasal dengan PKS? sehingga partai agamis ini seolah
menjadi bulan-bulanan menjelang 2014? Adakah semua itu pertanda lonceng
dimulainya pertarungan untuk menghadap Pemilu 2014 nanti?
Komitmen PKS
Dalam
setiap momen kepartaian, Presiden PKS ketika itu, Lutfi Hasan Ishaq
selalu mengungkapkan, bahwa target PKS dalam Pemilu 2014 mendatang
adalah menjadi tiga besar nasional. Tiga besar yang dimaksud bukan
berarti mentargetkan nomor urut tiga atau menjadi pemenang urutan ke
tiga dari Parpol peserta Pemilu. Namun, menjadi pemenang pertama, kedua
atau ketiga. Artinya, target PKS tersebut akan menyisihkan posisi Partai
Demokrat, PDIP dan Golkar.
Target
politik PKS tersebut tentu bukan sekedar mimpi menerawang yang tidak
membumi. Tetapi, berdasarkan pengalaman PKS selama mengikuti Pemilu,
suara konstituen partai kaum intelek muslim ini selalu menanjak, bahkan
bisa naik rangking mengalahkan partai Islam lainnya. Belum lagi dengan
jualan program yang cerdas, inovatif, yang selalu bersinergi dengan
hajat rakyat di lapangan dan menyentuh berbagai level sosial masyarkat,
mulai kaum intlektual, pengusaha, sampai kepada kaum lemah dan marginal.
Cita
ideal PKS yang dipatrikan dalam komitmen tiga besar tersebut,
membuatnya pe-de untuk menjadi kompetitor handal dalam Pemilu 2014
mendatang. Dengan demikian, sebagai konsekuensi target ideal tadi, PKS
harus siap dijadikan saingan “panas” yang mesti dikalahkan oleh Parpol
besar pemenang Pemilu tahun 2009 lampau. Dari itu, dengan segala dalih,
PKS mesti dijegal sebelum waktu start pertandingan Pemilu 2014 dimulai.
Penjegalan tersebut diantaranya adalah dengan cara ‘mengerdilkan’
kekuatan PKS dalam sistem pemerintahan. Mengingat, posisi menteri yang
diduduki kader PKS dalam kabinet SBY cukup memadai untuk dijadikan
sumber kekuatan dalam pemenangan Pemilu 2014 nanti.
Dari
sini kemudian pernah timbul isu reshuffle yang secara khusus dibidik
kepada kader PKS dalam koslis. Isu reshuffle itu kemdian dijadikan
alasan untuk mendepak PKS, dengan anggapan tidak setia dalam kongsi
koalisi, baik masalah Century, masalah Hak Angket Pajak sampai masalah
sikap kepada Pancasila dan nasionalisme. Semua dalil yang dijadikan
justifikasi untuk menekan PKS tersebut masih remang, yang tidak jelas
substansi kesalahan dan kekeliruan yang dijadikan sasaran peluru
bidikannya. Sebab, jika bidikan reshuffle kabinet adalah kinerja
menteri, maka tidak cukup alasan untuk mengeluarkan PKS dari koalisi.
Atau, disebabkan oleh persoalan Hak Angket Pajak, lantas mengapa PDIP
dan Gerindra yang justru ingin dirangkul? Padahal, sudah sangat jelas,
posisi kedua partai tersebut terhadap kebijakan pemerintahan SBY. Dari
itu, semua justifikasi tersebut terkesan mengada-ada, dan dipaksakan
menjadi kambing hitam demi menjegal langkah nyaman PKS dalam arena
Pemilu mendatang.
Hemat
penulis, ada beberapa argumentasi logis mengapa PKS menjadi sasaran
tembak dalam ruang tahun politik menjelang 2014 mendatang; pertama,
kuatnya solideritas kader PKS yang diyakini susah tergoyahkan. Kekuatan
ini bahkan telah teruji dipentas politik nasional sampai saat ini.
Dengan mengaitkan beberapa isu negatif secara nasional, seperti
organisasi transnasional, berafaham wahabisme sampai ke anti NKRI. Tidak
hanya itu, isu perpecahan internal dengan adanya dua faksi keadilan dan
faksi kesejahteraan sengaja dihembuskan oleh pihak luar. Akan tetapi,
sampai hari ini, PKS tetap eksis dan bahkan menjadi partai Islam
satu-satunya yang tidak mengalami krisis ‘organisasi’ seperti beberapa
partai Islam yang nyaris “sekarat”.
Kedua,
kesepaduan gerak kader PKS di semua lini, baik distruktur pemerintahan,
seperti menteri dan kepala dearah, maupun di lembaga legislatif dan
juga lembaga-lembaga sosial kemasyarkatan dikuatirkan akan membangun
“imperium” politik baru dalam dinamika politik nasional. Kesepaduan yang
dimaksud adalah, selain terekat oleh kesamaan ‘idelogis’ pergerakan
antara kader, juga terbukti bahwa klaim bersih, peduli dan profesional
tidak hanya sebatas lifstik yang menjadi penghias wajah dan jargon
politik. Namun, slogan dari idealisme itu dalam perspektif masyarakat
umum, nyaris tidak complang dengan realitasnya. Kesepaduan gerak ini
kemudian diyakini akan menjadi mesin dan magis politik yang akan
mengantarkan PKS menduduki posisi tiga besar di Pemilu akan datang.
Ketiga,
dengan kekhasan PKS yang berasaskan Islam, tapi tidak terjebak dengan
sikap formalisme agama dalam setiap sikap dan jargon politiknya, membawa
kecemasan baru bagi puak yang selama ini terjangkit Islamic phobia
dengan isu-isu keislaman. Sebab, isu Islam politik dengan jeratan
‘negara Islam’ seringkali menjadi umpan untuk memberanguskan
partai-parta Islam. Hal ini karena pengusung negara Islam di Indonesia
secara otomatis akan dianggap sebagai musuh NKRI, mengigat adagium
“Indonesia bukan negara agama’ sudah terlanjur berurat berakar dalam
benak sekulerisasi masyarakat Indonesia.
Gonjang
ganjing isu suap terhadap PKS hanyalah kilah dalam perilaku partai
politik yang biasanya selalu senang ‘mengganjal teman seiring,
menggunting dalam lipatan”. Isu ini juga sebanarnya tiada lain kecuali
start pertarungan untuk menjadi pemenang di Pemilu 2014 nanti. Lantas,
mungkinkah dengan tiga argumentasi di atas PKS akan menjadi kuda hitam
di Pemilu waktu depan? Tentu struktur dan kader PKS yang lebih tahu
kemungkinanya, selain kesadaran intlektualitas umat Islam terhadap
pemahaman Islam dan politik itu sendiri. Wallahu’alam.
*Dosen IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, alumni Ph.D di National University of Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar